Membangun entitas
korporasi dan menetapkan sasarannya. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip
moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam
entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para
pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri
para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi hati
nurani dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang
beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekadar mencari untung belaka, tetapi
juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang
berkepentingan (stakeholders).
Selain itu dalam mengembangkan struktur etika korporasi,
suatu perusahaan harus memiliki good corporate governance. Latar belakang
munculnya good corporate governance atau dikenal dengan nama tata
kelola perusahaan yang baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak
semata-mata karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun
dilatarbelakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang menimpa
perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan
(korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relatif tidak jelas
menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan.
Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke
dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi
penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh
tersebut. Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh
perusahan-perusahaan besar yang mana mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi
dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada awal
tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar
dan ternama dunia, disamping juga menyebabkan krisis global di beberapa belahan
negara dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah
Amerika mengeluarkan Sarbanes Oxley Acttahun 2002 yang berisikan penataan
kembali akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan
terhadap investor.
Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal
dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara. Konsep GCG belakangan
ini makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG memperjelas dan
mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu
organisasi yang mencakup (a) hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan
perlindungannya, (b) peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders) lainnya, (c) pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat
waktu, (d) transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan, (e) tanggung
jawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri, kepada para
pemegang saham dan pihak lain yang berkrpentingan.
Pada awalnya, istilah “Corporate Governance” pertama kali
dikenalkan oleh Cadbury Committee di Inggris tahun 1922 yang menggunakan
istilah dimaksud dalam laporannya yang dikenal dengan Cadbury Report.
Berikut disajikan beberapa definisi “Corporate Governance” dari beberapa
sumber, diantaranya:
·
Menurut Cadbury Committee of
United Kingdom
“A
set of rules that define the relationship between shareholders, managers,
creditors, the goverment, employees, and other internal and external
stakeholders in respect to their right and responsibilities, or the system by
which companies are directed and controlled”.
·
Menurut Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI
tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi definisi Cadbury
Committee of United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan,
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau
dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.
·
Menurut Sukrisno Agoes
Tata
kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran
dewan komisaris, para direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan
lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses
yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian
kinerjanya.
·
Menurut Organization for
Econimocs Cooperation and Development(OECD)
“The
structure through which shareholders, directors, managers, set of the board
objectives of the company, the means of attaining thoseobjectives and
monitoring performance”. (Suatu struktur yang terdiriatas para pemegang saham,
direktur, manager, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan
alat-alat yang akan digunakandalam mencapai tujuan dan memantau kinerja).
·
Menurut Wahyudi Prakarsa
Mekanisme
adninistratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan,
komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok kepentingan
(stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk
berbagai aturan (prosedur) dan sistem insentif sebagai kerangka kerja
(framework) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dan cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut, serta pemantauan atas kinerja yang dihasilkan.
Berdasarkan beberapa
definisi tersebut, pada intinya konsep GCG mengandung pengertian yang
berintikan 4 poin, yaitu:
1.
Wadah Organisasi (perusahaan, sosial,
pemerintahan).
2.
Model Suatu sistem, proses, dan
seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip, serta nilai-nilai yang
meladasi praktik bisnis yang sehat.
Tujuan:
ü Meningkatkan
kinerja organisasi.
ü Menciptakan
nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan.
ü Mencegah
dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan
organisasi.
ü Meningkatkan
upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan.
3.
Mekanisme Mengatur dan mempertegas
kembali hubungan, peran, wewenang, dan tanggung jawab:
§ Dalam
arti sempit: antar pemilik atau pemegang saham, dewan komisaris dan direksi.
§ Dalam
arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan.
4.
Prinsip-prinsip dasar yang melandasi
konsep Good Corporate Governance merupakan gabungan prinsip-prinsip
dasar dalam membangun suatu tatanan etika kerja dan kerjasama agar tercapai
rasa kebersamaan, keadilan, optimasi dan harmonisasi hubungan sehingga dapat menuju
kepada tingkat perkembangan yang penuh dalam suatu organisasi atau badan usaha.
Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
Ø Vision
Pengembangan
suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan pada adanya visi dan strategi
yang jelas dan didukung oleh adanya partisipasi dari seluruh anggota dalam
proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengembangan supaya semua pihak
akan merasa memiliki dan tanggung jawab dalam kemajuan organisasi atau
usahanya.
Ø Participation
Dalam
proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan suatu organisasi
atau badan usaha sedapat-dapatnya melibatkan pihak-pihak terkait dan relevan
melalui sistem yang terbuka dan dengan jaminan adanya hak berasosiasi dan
penyampaian pendapat.
Ø Equality
Suatu
badan usaha atau organisasi yang baik selalu akan memberi dan menyediakan
peluang yang sama bagi semua anggota atau pihak terkait bagi peningkatan
kesejahteraan melalui usaha bersama di dalam etika usaha yang baik.
Ø Professional
Dalam
bahasa sehari-hari professional diartikan “One who engaged ina learned
vocation” (Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan pekerjaan). Dalam
konteks ini professional lebih dikaitkan dengan peningkatan kapasitas
kompetensi dan juga moral sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan mudah,
cepat dan akurat.
Ø Supervision
Meningkatkan
usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas usahaatau organisasi sehingga
tujuan bersama dapat dicapai secara optimal,efektif dan efisien, serta untuk
meminimalkan potensi kesalahan atau penyimpangan yang mungkin timbul.
Ø Effective
& Efficient
Effective berarti
“do the things right”, lebih berorientasi pada hasil,
sedangkan efficient berarti “do the right things”, lebih berorientasi
pada proses. Apapun yang direncanakan dan dijalankan oleh suatu organisasi atau
badan usaha harus bersifat efektif dan efisien.
Ø Transparent
Dalam
konteks good governance, transparency lebih diartikan membangun
kepercayaan yang saling menguntungkan antara pemerintah atau pengelola dengan
masyarakat atau anggotanya melalui ketersediaan informasi yang mudah diakses,
lengkap dan up to date.
Ø Accountability/Accountable
Dalam
konteks pembicaraan ini accountability lebih difokuskan dalam meningkatkan
tanggung jawab dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan dalam menjawab
kepentingan publik atau anggota.
Ø Fairness
Dalam
konteks good governance maka fairness lebih diartikan sebagai aturan
hukum harus ditegakan secara adil dan tidak memihak bagi apapun, untuk siapapun
dan oleh pihak manapun.
Ø Honest
Policy,
strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi atau badan usaha
harus dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis ketidakjujuran pada akhirnya
akan selalu terbongkar dan merusak tatanan usaha dan kemitraan yang telah dan
sedang dibangun. Tanpa kejujuran mustahil dapat dibangun trust dan
long term partnership.
Ø Responsibility
dan Social Responsibility
Institusi
dan proses pelayanan bagi kepentingan semua pihak terkait harus dijalankan
dalam kerangka waktu yang jelas dan sistematis. Sebagai warga suatu organisasi,
badan usaha dan/atau masyarakat, semua pihak terkait mempunyai tanggung jawab
masing-masing dalam menjalankan tugasnya dan juga harus memberi pertanggungjawaban
kepada publik, sehingga di dalam suatu tatanan atau komunitas dapat terjadi
saling mempercayai, membantu, membangun dan mengingat kanagar terjalin hubungan
yang harmonis dan sinergis.
Sedangkan lebih sempit lagi, menurut OECD, prinsip dasar
GCG yang dikembangkan adalah (a) perlakuan yang setara antar pemangku
kepentingan (fairness), (b) transparansi, (c) akuntabilitas, dan (d)
responsibilitas.
Ekspektasi Baru
– Kerangka Baru
1)
Stakeholder mengetahui bahwa mereka
bisa memiliki pengaruh yang signifikan pada pasar konsumsi perusahaan, pasar
modal, dan pada dukungan yang ditawarkan perusahaan oleh
kelompok stakeholder lain seperti pekerja dan kreditur.
2)
Reputasi korporasi bisa secara
signifikan dipengaruhi oleh emosi stakeholder.
3)
Komisaris dan eksekutif melihat boikot,
menurunkan pendapatan dan laba, juga menemukan bahwa
dukungan stakeholder penting untuk pencapaian optimal atas tujuan
jangka menengah dan panjang perusahaan.
4)
Beberapa komisaris dan eksekutif
menginginkan dukungan dan dengan bantuan dari akademisi dan lainnya, pedoman
baru dan rerangka akuntabilitas dibangun, menyempurnakan dengan peralatan dan
teknik baru.
Akuntabilitas
untuk Shareholder atau Stakeholder?
-
Kapasitas pertumbuhan
dari stakeholder nonpemegang saham untuk mempengaruhi pencapaian
tujuan korporasi dan peningkatan sensitivitas mereka membuatnya atraktif untuk
korporasi untuk mendorong dukungan stakeholder.
-
Skandal Enron, Arthur Andersen, dan
Worlcom memperlihatkan bahwa aktivitas korporasi membuat pola untuk menghadiahi
eksekutif, komisaris dan beberapa pemegang saham saat ini tidak secara penting
pada kepentingan akan masa depan atau pemegang saham saat ini yang diharapkan
untuk kesuksesan jangka panjang seperti investor penerima pensiun, pekerja dan
pemberi pinjaman.
-
Eksekutif, komisaris, dan investor yang
terfokus pada jangka pendek membahayakan kredibilitas seluruh tata kelola
korporasi dan proses akuntabilitas.
-
Berdasarkan pada kenyataan adanya
tekanan stakeholder dan keinginan untuk mendorong
dukungan stakeholder, perusahaan menyadari bahwa mereka bertanggungjawab
pada stakeholder dan menatakelola diri mereka untuk meminimalisasi risiko dan
memaksimalisasi kesempatan tak terpisahkan dengan rerangka akuntabilitas stakeholder.
-
Sumber :
-
Brook, Leonard J. 2004. Business & Profesional
Ethics for Directors, Executives, & Accountans. South-Western College
Publishing.
-
Duska, Ronald F. dan B.S. Duska. 2005.
Accounting Ethics. Blackwell Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar